Postingan

Di Sudut Kegelapan

Gambar
"Kamu cantik luar biasa. Berdiri setegak Gunung Himalaya, teduh seluas pohon taebuya. Kau adala h berlian. Meski banyak orang mencaci, berbagai suara menjatuhi, dan bisik-bisik yang menyalahi. Kau indah dan bercahaya. Tenang dan tidak goyah." Suara itu bergema di seluruh ruangan gelap. Aku hampir terjatuh mendengarnya. Mendengar cermin itu berbicara ketika bola mataku menghadapnya. Saat itu pantulannya memang tetap diriku apa adanya. Lama-kelamaan berubah visi menjadi sosokku yang lain. Mengenakan pakaian bak putri raja yang ikut berperang. Aku yakin sekali, cermin itu yang bersuara. Aku tidak mempertanyakan keanehan ini, justru lebih mencerna kata-kata barusan. Apakah aku benar-benar orang yang mampu berdiri kokoh meski dijejali berbagai rintangan? Apakah aku bisa meneduhkan diri sendiri bahkan orang lain di sekitar? Apakah aku berlian? Brak Ada yang terjatuh di balik kaca bulat usang itu. Langkahku dengan ragu menuju sumber suara. Ternyata ada sebuah papan kayu dengan ukir

Air

Gambar
"Kau tahu, sekeras apa pun aku mencoba ternyata tidak bisa lupa juga. Saat air perasan jeruk itu tumpah di kemeja putihku. Piring berisi nasi goreng seafood pecah begitu saja di lantai, mengenai sepatuku sedikit. Raut wajahmu yang sempat mematung mulai memerah dan panik. Membuat heboh hampir seisi kedai. Satu pelayan menghampiri sedangkan kau buru-buru mengambil tisu. Aku masih mencerna hal yang terjadi. Segala keheranan ditambah malu namun, juga tersipu. Ternyata jika diperhatikan, kau manis juga. Semula ingin marah akhirnya sirna. Kau serahkan segulung tisu tebal padaku karena tidak mungkin kau juga yang mengelap noda di bajuku. Tidak, nodanya tidak bisa hilang. Padahal siang itu aku masih harus rapat di kantor. Sebagai permintaan maaf kau sengaja ingin mengganti kemejaku dengan yang baru. Untunglah kedai di dekat kantorku itu juga dekat dengan mall. Kau memaksa agar aku ikut bersamamu memilih baju baru. Aku sih tidak mau buru-buru, tetapi apa daya waktu telah menunggu. Se

Kejadian di Malam Hari

Gambar
Malam ini aku berjalan di lorong sebuah rumah sakit. Begitu sunyi, gelap dan hanya detik jarum jam yang terdengar. Bau obat pun begitu melekat. Aku intip satu per satu kamar yang lampunya juga dimatikan. Beberapa pasien tertidur dengan tenang, ada pula yang sesekali merintih kesakitan.  Langkahku menuju ke bagian ICU. Tanpa ragu memasuki ruangan itu. Suster dan dokter jaga sedang duduk sambil mengecek kondisi pasien dari kejauhan. Aku pun mendekati satu tubuh yang terkulai lemas dengan berbagai alat bantu napas.  Air mata ini tidak bisa keluar, sekalipun perasaanku begitu hancur melihatnya. Seseorang yang badannya digerogoti penyakit ini akhirnya tumbang di atas kasur putih seukuran badan. Memang manusia punya batasnya.  Ada guratan cahaya tak begitu terang dari balik celah tirai jendela besar. Jendela inilah yang menghubungkan pasien dengan penjenguknya. Aku pun menghampirinya perlahan. Ternyata ada dua orang yang tertunduk pilu. Seorang wanita yang tak henti-hentinya berdzikir dan se

GALAU

Gambar
Kata galau sepertinya tidak akan pegi dari hidup ini. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya umur tidak serta merta mengusir 'galau' dari kehidupan. Ia selalu ada dan terus datang. Waktu umur 6 tahun kita galau tentang bagaimana bisa mendapat ranking satu atau punya banyak teman. Saat usia 12 tahun mulai cinta monyet dan galau karena ujian sekolah. Usia 14 galau menentukan mimpi-mimpi. Usia 18 galau soal percintaan, saking banyaknya kegiatan sekolah, jurusan kuliah atau lanjut kerja saja. Usia 20 galau tentang tugas akhir, cinta, persahabatan, ujian, meniti karir. Usia 23 galau susah dapat pekerjaan. Usia 25 galau kapan nikah.  Wah panjang... dan banyak lagi galau-galau yang dirasakan. Jelas mengganggu sekali. Rasanya bak ketiban beban berat yang untuk diangkat saja tak sanggup. Enggan melakukan apapun, berdiam diri atau menangis saja. Tidak bergairah, bingung berkepanjangan. Mengantuk tapi tidak bisa tidur, jika tertidur hati tak tenang. Ada bahkan sering sek

Apa yang terjadi saat ini

Saat ini kita sedang dihadapkan dengan virus corona. Dan, ya kita rasakan sendiri ada di sekitar kita, di depan mata kita. Hampir semua orang panik, ketar-ketir. Tak jarang juga yang lebih tenang, lebih berpikir dengan sisi yang berbeda. Apa yang terjadi saat ini, banyak sekali cabangnya jika dilihat dari berbagai pandangan. Mari kita lihat dari orang biasa. Bahan makanan menipis, pemasukan menurun, pusing, mau tidur siang juga tidak nyaman. Tidak panik, hanya khawatir. Apa yang akan terjadi dengan kelangsungan hidup ini. Satu persatu usaha tutup (sementara), satu persatu kita tidak wfh hanya take a rest di rumah, sampai waktu yang tidak ditentukan. Iya iya makanya pemerintah juga bingung kalau mau lockdown pasti banyak yang menderita. Tapi kalau tidak, banyak juga yang menderita. Oke, itu "acara" pemerintah saja. Kita orang biasa, walaupun harus gak gajian, walaupun penghasilan menurun, walaupun banyak efek-efek tidak menyenangkan. Tetap syukuri hidup ini, bersyuku

Tinta yang Ditorehkan

Hidup akan dibawa kemana? Walaupun sebenarnya tintanya sudah ditorehkan dalam kitab yang hanya diketahui Tuhan tetapi manusia tidak ada yang mengetahui isinya. Kita terombang-ambing dalam kehampaan dan keresahan akan hidupdan bertanya-tanya untuk apa kita hidup? Tidak ada maknanya. Padahal Allah sudah beri petunjuk lewat ayat-ayat cintaNya, padahal Rasulullah sudah tunjukkan akhlak terbaiknya untuk kita jalani ajarannya. Mungkin kita kehilangan tujuan atau tidak tahu akan tujuan itu sendiri. Tujuan adalah hal terpenting dalam hidup. Tujuan mulia yang akan membawa kita pada Surga. Tujuan besar agar kita mati dengan indahnya. Salah satu cara mencapainya adalah dengan berbagi lewat tinta yang ditorehkan. Karya cinta menjadi amal jariyah berisi ilmu bermanfaat. Dilandasi dengan niat yang lurus hanya untuk Allah, niat yang mantap untuk berbuat baik menebebar kebermanfaatan, berkarya untuk Allah yang terbaik untuk Allah. Semua itu dilakukan dengan proses yang panjang tidak seperti mie in

Sepeninggalmu... (pt.1)

Hai.. Selamat Siang Aku udah kepikiran untuk menuliskan ini sekitar tanggal 3 Oktober 2018 lalu, tapi baru kesempatan untuk menulisnya. Dan dipending gara-gara gak kuat, dilanjutkan lagi di 30 Agustus 2019. (lama juga) dan berlanjut lagi di 2 Februari 2020, berkali-kali aku gak kuat nulisnya.  Kali ini aku akan menulis sejujur-jujurnya, tidak ada perumpamaan, tidak ada nama samaran, tidak ada paksaan, tidak ada yang dilebihkan atau dikurangkan.  Tidak ada judul  Aku ingin menulis, bagaimana kejadian saat adikku pergi salamanya. Bukan mengingat-ingat, bukan tak rela, bukannya cengeng, bukannya ingin mencari simpati, bukan mencari teman, bukan ingin dibaca. hanya saja, aku pikir, ini menjadi tulisan yang paling jujur diantara tulisan yang lain. yaa. ini yang pertama.  Teman-teman yang sudah pernah kehilangan, mungkin kita sama-sama merasakan, kehilangan yang sesungguhnya. totally, benar-benar hilang.  Oke, aku mulai saja.  Namanya Zati Hanani Sekar Arini.  mulan