Postingan

Buku Membuatku Bertahan

Gambar
Buku Membuatku Bertahan Mencari penyembuhan dengan membaca foto: pexels.com Hidup memang menghadirkan berbagai dilema dan pertentangan. Mulai pertentangan hati dengan pikiran, lingkungan dengan diri sendiri sampai alam dengan kebutuhan. Semua itu chaos, kemungkinan yang terjadi dalam hidup ini pun tidak beraturan. Lebih banyak kejutan dibanding sesuatu yang terjadi di dalam kendali. Tentu hal ini perlu dipahami dan diterima. Begitulah adanya hidup ini. Dalam kehidupan yang tidak terprediksi ini, pikiran ini menjadi benang yang kusut. Hati pun menjadi sesak dan napas tidak lega. Tertekan, sakit dan lelah. Mental ini terkuras dan pikiran pun jauh dari waras. Betul, saya butuh penyembuhan. Iya, kita semua butuh. Tapi bagaimana? Saya yakin jawaban setiap orang berbeda-beda. Selain itu, setiap orang punya caranya sendiri untuk menjadi lebih baik, mental yang lebih sehat dan hati yang lebih tenang. Mungkin juga ada berbagai cara untuk menanganinya. Salah satu yang membuat saya bertahan adala

Kita Semua Sedang Bertahan Hidup

Gambar
Kisah seorang pengidap distimia  Judul: I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki   Penulis: Baek Se Hee Penerbit: Penerbit Haru Tahun Terbit: Desember 2019 (Cetakan ke-4) Tebal: 236 hlm. "Hal apa yang aku inginkan? Aku hanya ingin mencintai dan dicintai. Dengan nyaman, tanpa rasa curiga" (hal. 186) Buku best seller di Korea Selatan ini karya seorang pengidap distimia (depresi ringan berkepanjangan) bernama Baek Se Hee. Ia merupakan seorang lulu san sastra yang telah lima tahun bekerja di sebuah penerbitan.  Kenapa aku beli dan baca buku ini? Karena penasaran dengan judul yang menggelitik. Kesan yang tampak dari buku ini adalah "aku ingin mati saja, tapi juga ingin makan jajanan kue beras." Rupanya saat sudah tidak ingin hidup justru sebenarnya kita sedang bertahan hidup (dan masih ingin hidup dengan alasan yang sederhana). Isi buku ini lebih ke percakapan antara penu lis dengan psikiater secara apa adanya dan ditulis ulang dari rekaman. Tidak ada yang ditambah-

Air Mata Terjun Bebas

Akhir-akhir ini (mungkin sekitar 4 bulan-an) aku tidak pernah menangis. Dulu biasanya menangis karena hal-hal miris yang terjadi di hidup ini. Kau mungkin merasakannya juga. Seperti resah akan masa depan yang tidak pasti, tidak tahu akan dibawa kemana karir ini, atau pengasilan yang tidak juga bertambah. Sementara aku tahu benar bahwa orang-orang di luar sana sudah kuliah fast track S2 ke S3, atau kuliah di luar negeri, atau karyawan yang bergaji tinggi, ada juga freelancer yang tidak sepi proyek. Jelas-jelas mengetahui itu semua bagai mala metaka. Padahal kita tahu kalau membandingkan diri dengan orang lain pasti tidak ada habisnya. Itu membuat kita terus merasa kurang dan merana. Bahkan jadi penyakit mental, hati, fisik, semuanya. Iya, dulu aku sering menangis karena hal-hal itu.  Akhirnya diri ini mulai terbiasa, aku menangis bukan lagi karena hasil membandingkan diri dengan orang lain/ teman dekat/ saudara dan lainnya. Aku menangis karena aku belum juga (merasa) berhasil. Aku membe

Di Sudut Kegelapan

Gambar
"Kamu cantik luar biasa. Berdiri setegak Gunung Himalaya, teduh seluas pohon taebuya. Kau adala h berlian. Meski banyak orang mencaci, berbagai suara menjatuhi, dan bisik-bisik yang menyalahi. Kau indah dan bercahaya. Tenang dan tidak goyah." Suara itu bergema di seluruh ruangan gelap. Aku hampir terjatuh mendengarnya. Mendengar cermin itu berbicara ketika bola mataku menghadapnya. Saat itu pantulannya memang tetap diriku apa adanya. Lama-kelamaan berubah visi menjadi sosokku yang lain. Mengenakan pakaian bak putri raja yang ikut berperang. Aku yakin sekali, cermin itu yang bersuara. Aku tidak mempertanyakan keanehan ini, justru lebih mencerna kata-kata barusan. Apakah aku benar-benar orang yang mampu berdiri kokoh meski dijejali berbagai rintangan? Apakah aku bisa meneduhkan diri sendiri bahkan orang lain di sekitar? Apakah aku berlian? Brak Ada yang terjatuh di balik kaca bulat usang itu. Langkahku dengan ragu menuju sumber suara. Ternyata ada sebuah papan kayu dengan ukir

Air

Gambar
"Kau tahu, sekeras apa pun aku mencoba ternyata tidak bisa lupa juga. Saat air perasan jeruk itu tumpah di kemeja putihku. Piring berisi nasi goreng seafood pecah begitu saja di lantai, mengenai sepatuku sedikit. Raut wajahmu yang sempat mematung mulai memerah dan panik. Membuat heboh hampir seisi kedai. Satu pelayan menghampiri sedangkan kau buru-buru mengambil tisu. Aku masih mencerna hal yang terjadi. Segala keheranan ditambah malu namun, juga tersipu. Ternyata jika diperhatikan, kau manis juga. Semula ingin marah akhirnya sirna. Kau serahkan segulung tisu tebal padaku karena tidak mungkin kau juga yang mengelap noda di bajuku. Tidak, nodanya tidak bisa hilang. Padahal siang itu aku masih harus rapat di kantor. Sebagai permintaan maaf kau sengaja ingin mengganti kemejaku dengan yang baru. Untunglah kedai di dekat kantorku itu juga dekat dengan mall. Kau memaksa agar aku ikut bersamamu memilih baju baru. Aku sih tidak mau buru-buru, tetapi apa daya waktu telah menunggu. Se

Kejadian di Malam Hari

Gambar
Malam ini aku berjalan di lorong sebuah rumah sakit. Begitu sunyi, gelap dan hanya detik jarum jam yang terdengar. Bau obat pun begitu melekat. Aku intip satu per satu kamar yang lampunya juga dimatikan. Beberapa pasien tertidur dengan tenang, ada pula yang sesekali merintih kesakitan.  Langkahku menuju ke bagian ICU. Tanpa ragu memasuki ruangan itu. Suster dan dokter jaga sedang duduk sambil mengecek kondisi pasien dari kejauhan. Aku pun mendekati satu tubuh yang terkulai lemas dengan berbagai alat bantu napas.  Air mata ini tidak bisa keluar, sekalipun perasaanku begitu hancur melihatnya. Seseorang yang badannya digerogoti penyakit ini akhirnya tumbang di atas kasur putih seukuran badan. Memang manusia punya batasnya.  Ada guratan cahaya tak begitu terang dari balik celah tirai jendela besar. Jendela inilah yang menghubungkan pasien dengan penjenguknya. Aku pun menghampirinya perlahan. Ternyata ada dua orang yang tertunduk pilu. Seorang wanita yang tak henti-hentinya berdzikir dan se

GALAU

Gambar
Kata galau sepertinya tidak akan pegi dari hidup ini. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya umur tidak serta merta mengusir 'galau' dari kehidupan. Ia selalu ada dan terus datang. Waktu umur 6 tahun kita galau tentang bagaimana bisa mendapat ranking satu atau punya banyak teman. Saat usia 12 tahun mulai cinta monyet dan galau karena ujian sekolah. Usia 14 galau menentukan mimpi-mimpi. Usia 18 galau soal percintaan, saking banyaknya kegiatan sekolah, jurusan kuliah atau lanjut kerja saja. Usia 20 galau tentang tugas akhir, cinta, persahabatan, ujian, meniti karir. Usia 23 galau susah dapat pekerjaan. Usia 25 galau kapan nikah.  Wah panjang... dan banyak lagi galau-galau yang dirasakan. Jelas mengganggu sekali. Rasanya bak ketiban beban berat yang untuk diangkat saja tak sanggup. Enggan melakukan apapun, berdiam diri atau menangis saja. Tidak bergairah, bingung berkepanjangan. Mengantuk tapi tidak bisa tidur, jika tertidur hati tak tenang. Ada bahkan sering sek